Lagi-lagi aku marah. Aku benci. Anjing itu kawin lagi. Lagi. Ini sudah kedua kalinya dia kawin lagi. Tanpa sepengetahuanku pula. Walaupun pada akhirnya dia mengaku juga. Tapi tentu saja pengakuan itu muncul setelah kecurigaanku datang. Perasaan wanita memang tidak bisa dibohongi. Dasar binatang! Yang ada di otaknya cuma kawin, kawin, kawin lagi, dan kawin. Anjing gila!!

Aku merasa jijik dengan diriku. Ternyata aku menikahi anjing. Aku bingung, kenapa sampai sekarang aku masih bertahan dengan anjing itu? Tentu aku punya alasan. Anak-anakku dengan anjing. Bukan, mereka bukan anak kecil lagi. Mereka sudah menstruasi dan mimpi basah. Tentunya mereka sudah mengerti arti perceraian. Tapi di sinilah dilema hatiku terjadi. Sejak aku dan anjing menikah sembilan belas tahun lalu, anjing adalah ayah yang baik untuk anak-anakku. Pun sampai sekarang, ketika ia sudah menambah dua istri lagi. Anjing masih sempat berbincang dengan anakku, memberi perhatian, bercanda, dan semua aktivitas yang biasa dilakukan antara ayah dan anak.

Akibatnya, anak-anakku begitu membanggakan ayahnya. Bahkan si Sulung pernah berkata padaku, “ Ibu, aku punya teman di sekolah. Kasihan sekali, ayahnya pergi meninggalkan keluarganya karena selingkuh. Jadi, ia sekarang tak punya ayah. Untung keluarga kita masih lengkap ya, Bu. Ayah dan Ibu sangat menyayangi kami.” Sungguh aku tak tega jika harus berpisah dan anak-anak mengetahui bahwa ayahnya tak lebih dari seekor anjing yang tukang kawin. Sama seperti ayah temannya si Sulung. Aku memilih bertahan untuk anak-anakku, si Sulung dan si Bungsu. Anjing licik!!

Malam ini anjing berkata padaku bahwa ia akan menemani istri keduanya melahirkan. Aku kembali terlibat dalam pembicaraan yang memuakkan.

“ Adinda, aku harus menemani Tanti melahirkan,mungkin seminggu. Maaf. Aku titip Sulung dan Bungsu. Katakan pada mereka aku harus menemani atasanku ke luar kota. Jangan katakan yang sebenarnya. Tolong jangan rusak kebahagiaan anak-anak. Aku mencintaimu, sungguh.”

Tolong jangan rusak kebahagiaan anak-anak. Brengsek!! Aku benci kalimat itu! Tentu saja aku tidak akan pernah mau merusak kebahagiaan anak-anak. Ternyata kami berdua begitu menyayangi anak-anak kami. Entah untuk keberapa kalinya aku mengatakan pada si Sulung dan si Bungsu bahwa ayah mereka sedang di luar kota untuk menemani atasannya dan berangkat pagi-pagi sekali. Dan yang harus diketahui, anjing selalu meninggalkan surat kecil pada anak-anak sebelum pergi. Isinya adalah izin pamit. Setelah itu, anjing pulang dengan membawa oleh-oleh untuk anak-anak. Anjing bilang, “ Ayah dapat uang tambahan dari menemani atasan Ayah. Ini oleh-oleh untuk kalian.” Anjing pintar!!

Di rumah ini hanya aku yang membenci anjing. Hanya aku yang terkoyak karena anjing. Hanya aku yang menangis disakiti anjing. Hanya aku yang mau dibohongi anjing. Aku memilih bertahan. Aku memilih diam.

Melisa Bunga Altamira
Kamis, 13 November 2008