Saya pendendam. Saya percaya karma. But I won’t revenge, karma will.
Anjing itu berlari. Berlari kencang. Kencang sekali. Aku bahkan tidak pernah melihat dia berlari. Apalagi berlari sekencang ini.
Aku sebenarnya prihatin melihat keadaannya. Persis seperti anjing kampung. Badannya begitu kurus, pipinya cekung, rambut uban yang biasanya terurus dengan hitamnya zat kimia kini tampak semakin natural. Asli. Putih.
Tapi itu semua salahnya. Karmanya, lebih tepatnya.
Dulu aku tidak percaya karma. Tapi kemudian ibuku berkata, “Jangan pernah kamu sakiti orang Adinda, kelak kamu akan disakiti orang.” Kata-kata itu pertama kali kudengar sekitar 20 tahun lalu. Entah mengapa selalu kuingat sampai sekarang. Apalagi setelah ada buktinya, anjing itu. Aku kini percaya karma.
Kamu harus dengar ceritaku. Sejak ibu bilang tentang nasehat itu, aku berjanji tidak akan pernah menyakiti orang. Sedikit pun. Aku tak mau disakiti orang lain. Syukurlah perjalanan hidupku membahagiakan. Sampai kemudian aku menikah dengan suamiku. Setiap hari aku berdoa agar pernikahan kami selalu bahagia. Kuserahkan diriku seutuhnya demi sebuah kalimat yang diucapkan sahabatku, “Selamat ya Adinda, kuharap pernikahanmu langgeng hingga akhir hayat.” Tapi nyatanya sebelum akhir hayatku tiba, akhir pernikahanku sudah di depan mata.
Aku disakiti. Lahir batin. Jiwa raga. Hancur. Dia bilang dia cintai aku. Cintai anak-anak kami, si Sulung dan si Bungsu. Tapi dia tega bagi cinta itu ke madu lain. Aku disakiti. Ya, hanya aku. Tidak dengan si Sulung dan si Bungsu.
Kini keadaan berubah. Karma berbicara. Suamiku dimaki oleh karma. Karma yang buat ia berlari kencang sekali. Bahkan kini sambil berteriak, sama kencangnya dengan larinya. Aku tersenyum, tapi juga menangis dalam hati. Dia suamiku. Anjing itu suamiku.
Melisa Bunga Altamira
(Kamis, 23 April 2009)