Saya penggemar Warkop. Bagian dari ribuan penggemar. Mungkin puluhan ribu. Salah! Jutaan. Yak, jutaan penggemar. Anda mungkin juga penggemar Warkop. Jadi kita mungkin salah dua dari jutaan penggemar Warkop.

 

“Film Dono!”. Itulah cara saya menyebut film Warkop. Saya dulu lebih mengenalnya dengan sebutan itu. Rasanya Warkop itu Dono. Setelah cukup umur (ya saya akui saya menonton film Warkop belum ganjil berusia 13 tahun sesuai batas usia penonton yang ditulis), saya mulai membenahi penyebutannya. “Hahaha..ada Warkop di TV.” Saya akhirnya tahu bahwa Warkop itu bukan hanya Dono. Berperan sebagai objek penderita memang akan selalu terkenal lebih cepat. Begitulah Dono.

Setiap melihat, mendengar, dan membaca apapun tentang Warkop, saya selalu antusias. Melihat deretan tayangan iklan TV yang memberikan jadwal penyangan film mereka, membuat saya mencatat baik-baik tanggal dan jam tayangnya. Saya hanya (terpaksa) melewatkan menonton jika sedang tidak di rumah atau terlalu malam tayangnya. Selebihnya saya memilih tidak absen.

Untuk setiap judul film, sudah tentu saya tidak hanya tonton sekali. Tapi entah mengapa tidak pernah terbersit rasa bosan. Saya tetap terpingkal. Mereka lucu. Titik.

Bahkan saya sempat heran pada diri sendiri. Sebenarnya saya sudah tahu apa yang akan terjadi dalam scene tersebut. Dialognya pun saya ingat persis. Tapi (lagi-lagi) entah mengapa, saya tetap tertawa.

Setan kredit adalah satu dari 30-an film Warkop yang saya suka. Buat saya, judulnya saja sudah menarik. Setan Kredit. Apa itu? Apa ada setan cash? Hahaha,, Dan ternyata filmnya berkisah tentang trio Warkop yang membuka usaha detektif, order pertama mencari anak hilang. Mereka mencari sampai ke hutan dan bertemu berbagai macam setan. Adegan yang paling saya tunggu adalah ketika Indro harus berhadapan dengan sebentuk pocong (satuan pocong kira-kira apa ya?). Mereka yang seharusnya berantem, justru berdansa. Belum lagi iringan latar musiknya yang mendukung. Ditambah dengan mimik muka lucu Indro. Berkali-kali saya terbahak.

Namun ada satu film Warkop yang tidak pernah bisa bikin saya tertawa. Saya justru takut tiap melihat “Manusia 6 Juta Dolar”. Film parodi dari “Six Million Dollars Man” ini tidak pernah bisa membuat saya tertarik untuk tetap berada di saluran itu. Saya pasti ganti.

Itu tadi cerita bagaimana antusiasnya saya melihat atau menonton. Saya juga sama antusiasnya tiap mendengar cerita apapun tentang Warkop. Mulai dari cerita kehidupan kemahasiswaannya, sejarah Prambors, hingga mendengar bagaimana mereka tidak hanya berasal dari kaum humoris tapi juga akademis. Mereka memang mahasiswa Universitas Indonesia, sementara Indro dari Universitas Pancasila.

Saya juga masih ingat betapa antusiasnya saya ketika mama saya sempat bercerita tentang Warkop. Bagaimana lucunya suasana ospek pada waktu itu. Mama saya yang mahasiswa baru Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, sempat merasakan suasana humoris diospek oleh Warkop generasi 1. Masih Nanu, Kasino, dan Dono. Itu tahun 1973.

“ Dono itu galak lho, Mel. Nanu yang friendly. Kalo Kasino gak tahan ketawa. Nanu jadi MC-nya, sementara yang dua lagi di belakang,” begitu kenang mama saya. Kenangan mama saya membuat saya berimajinasi bagaimana rasanya ada di sana saat itu. Kalo saya jadi mama saya dengan kadar kesukaan pada Warkop seperti sekarang, saya mungkin akan minta diospek tiap hari. Ya..demi melihat dan mendengar langsung idola saya.

Satu lagi yang paling saya suka adalah mendengar bahwa Indro dan Rudy Badil akan menerbitkan buku tentang Warkop. Semacam biografi-lah. Saat itu saya berjanji, akan beli tanpa peduli berapapun jumlah uang yang harus saya tukar.

Eh,,ternyata kok ada yang lebih saya suka. Saya sangat suka mendengar ketika buku Warkop itu akhirnya terbit. Di salah satu situs jejaring sosial, Indro menawarkan paket buku menarik bagi 1000 pemesan pertama. Sudah tentu saya ingin jadi bagian di antara 1000 orang itu. Dengan bantuan dua orang teman, saya pun pesan.

Seminggu setelah saya kasak-kusuk heboh dengan syarat pemesanan, 16 November 2010, paket buku itu sampai di rumah saya. Sekali lagi, saya begitu antusias untuk membuka paket tersebut. Buku Warkop “Main-main Jadi Bukan Main” beserta tanda tangan Indro di dalamnya, satu paperbag, satu CD Warkop Prambors, dan satu pin bergambar Warkop melengkapi kegembiraan saya. Seratus tiga puluh lima ribu saya seperti terbayar lunas.

Setelah saya dapat bukunya, bagian berikutnya sudah tentu membaca. Adalah sesuatu yang menyenangkan bisa membaca perjalanan hidup dari idola Anda. Itu yang sedang saya alami sekarang. Membaca pengalaman hidup mereka membuat saya makin kagum. Buku setebal 270-an halaman itu mungkin sebenarnya tidak cukup menampung cerita 30-an tahun kebersamaan dan perjalanan mereka. Namun setidaknya kumpulan kertas itu bisa jadi saksi pencatatan perjalanan hidup dan kebersamaan itu. Mulai dari suka hingga duka. Buku ini membantu mengabadikannya.

Cikal bakal Warkop muncul dari ranah akademis. Persahabatan mereka di kampus perjuangan, Universitas Indonesia, mengantarkan mereka menjadi komedian Indonesia dengan intelektualitas tinggi. Namanya juga mahasiswa.

Rudy Badil yang mahasiswa Antropologi, Nanu yang mahasiswa Komunikasi Massa, Kasino yang mahasiswa Ilmu Administrasi, dan Dono yang mahasiswa Sosiologi, menghentak telinga masyarakat Indonesia melalui cuap-cuap di radio. Prambors namanya. Maka kemudian nama mereka menjadi Warkop Prambors. Salah satu radio terkenal di zamannya yang digilai kawula muda, begitu sebutan pendengarnya. Sampai kemudian Indro yang mahasiswa Universitas Pancasila bergabung. Beda kampus, ternyata tidak membedakan tujuan hidup mereka.

Obrolan santai mereka di radio kemudian dibuat lebih berbobot. Akademis dicampur idealisme. Sebagai mahasiswa, mereka perlu peduli dengan keadaan negaranya, namun tidak ingin menyindir dengan cara ekstrim. Akhirnya jadilah obrolan jumat malam. Berbagai macam topik mulai dari politik, HAM, ras, gender, hingga seks berhasil membuat kawula muda setia menunggu mereka. Topik yang tadinya terasa berat, mereka jadikan sesuatu yang mudah untuk dicerna. Saking digemarinya, obrolan mereka pun dijual dalam bentuk kaset. Laku keras.

Kesuksesan mereka di dunia radio merambah kemudian ke layar kaca. Kali ini hanya berempat. Tanpa Rudy Badil. Namun sayang, kesertaan Nanu hanya sebentar. Tahun 1983, Ia mendahului. Selebihnya Warkop kemudian melepas nama Prambors dan menggantinya dengan Warkop DKI. Inisial nama. Formasi inilah yang bertahan hingga kemudian Kasino dan Dono menghadap sang Khalik menyusul Nanu.

Pada akhirnya duet Rudy Badil dan Indro-lah yang bisa jadi saksi hidup kejayaan era Warkop. Sebuah persahabatan manis yang hanya dipisahkan oleh berakhirnya usia. Warkop memang tidak pernah bubar.

Warkop is a Legend. Tidak berlebihan saya bilang. Bagaimana tidak, ketenarannya begitu jelas, keberadaannya begitu nyata, kesolidannya tidak perlu diragukan lagi. Warkop adalah salah satu contoh nyata dari kata mutiara : Setia hingga akhir hayat memisahkan. Dari awal pertemanan mereka berlima hingga sekarang hanya berdua memang karena hayat yang terpisah. Mereka tidak pernah bubar. Tinggal berdua karena Nanu, Kasino, dan Dono menghadap sang Khalik terlebih dahulu.

Akademis. Idealis. Humoris. Satu paket lengkap yang menyempurnakan eksistensi Warkop. Saya tantang Anda untuk bisa menyebutkan satu grup lawak lain yang –paling tidak- sama dengan mereka. Saya rasa tidak ada. Atau mungkin belum.

Melisa Bunga Altamira
19-21 November 2010