Tulisan kali ini saya dedikasikan untuk para Ibu. Terutama untuk Ibu saya. Tulisan ini juga saya dedikasikan untuk diri sendiri, sebagai pengingat karena saya mom soon to be, InsyaAllah…
Dua puluh tujuh tahun sudah saya hidup di dunia ini. Lahir dari seorang Ibu yang luar biasa. Cantik, cerdas, dan demokratis. Saya banyak mencontoh sikap baik dari beliau. Saya belajar dari beliau untuk menjadi perempuan yang baik, dan –nantinya- jadi Ibu yang baik pula.
Ibu saya adalah orang yang sangat luar biasa. Beliau mendidik saya mulai dari hal remeh temeh sampai hal yang tidak bisa dianggap remeh temeh. Cara bicara, gaya berjalan, sikap saat makan, bagaimana membersihkan rumah, dan lainnya. Awalnya semua itu saya anggap remeh temeh, tapi tidak dengan Ibu saya. Kesempurnaan perempuan dalam membawa diri melalui unsur-unsur tersebut, akan menaikkan kelas perempuan tersebut di mata masyarakat. Kita bisa serampangan di rumah, tapi jangan lakukan hal yang sama di luar rumah. “Perempuan itu harus pandai menempatkan diri dan bersikap,” begitu kata beliau. Jangan heran kalau sampai sekarang Ibu masih sering mengingatkan saya mengenai bagaimana memegang sendok, gesture berjalan, atau bahkan cara duduk. Terkadang terdengar ribet atau apalah, tapi saya yakin suatu saat akan ada manfaatnya.
Dari Ibu juga saya belajar pentingnya pendidikan. Ibu bilang, pendidikan bisa didapat dari mana saja. Sekolah formal, sekolah informal, akademis, non akademis dan bahkan dari kehidupan. Matematika, Biologi, Ekonomi, Melukis, Musik, Olahraga, Menari, itu semua pendidikan, kata Ibu saya. Dari Ibu, saya mendapat pemikiran untuk tidak berhenti sekolah. Kalau pun tidak sekolah formal, jangan pernah berhenti belajar. Ilmu tidak pernah mubazir. Dulu saya pernah berpikir untuk cukup sekolah sampai tingkat diploma. Tapi lama kelamaan, melihat Ibu, saya jadi ingin sekolah terus. InsyaAllah kalau masih diberi kesempatan dan kemampuan berpikir yang mumpuni, saya mau sekolah sampai doktoral.
Dari keseluruhan penjelasan saya, menjadi seorang Ibu tentu bukan tugas yang mudah dan ringan. Namun saya yakin, walau pun tidak gampang untuk menjadi seorang Ibu, hampir seluruh wanita pasti ingin menjadi Ibu. Kami, para Ibu soon to be, tidak hanya bertanggung jawab untuk melahirkan anak-anak kami dengan selamat dan sehat, tapi juga harus mendidik mereka sampai mereka nanti siap untuk mendidik generasi berikutnya.
Kami para calon Ibu, bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak kami agar mereka siap menghadapi dunia luar yang sesungguhnya. Agar mereka pandai membawa diri, agar mereka pandai menempatkan diri, agar mereka pandai menghadapi orang lain dan agar mereka pandai mendidik anak-anaknya kelak.
Kami para calon Ibu, tidak hanya bertanggung jawab mendidik anak-anak kami secara akademis, tapi juga secara spiritual (agama) dan emosional. Tentu pernah dengar dan tidak asing dengan kecerdasan akademik (IQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan emosional (EQ) kan? Ketiganya menjadi tanggung jawab kami, para calon Ibu (tentu bersama Ayahnya), untuk mempersiapkan itu semua.
Kecerdasan akademik tentu sudah dipahami oleh semua orang. Ini berhubungan dengan kemampuan memahami paparan sekolah formal. Jenjang TK-Universitas. Saya pribadi, tentu akan memilihkan sekolah terbaik untuk anak saya kelak. Harapan saya, dengan menempuh pendidikan dengan sekolah terbaik, anak saya akan terbawa ke lingkungan akademis yang baik pula. Di sekolah tersebut, anak saya tidak hanya belajar pelajaran formal, tapi dia juga harus belajar pelajaran informal. Empati, simpati, berbagi, mengalah, mengolah emosinya, memahami kehidupan, belajar menyayangi, dan lainnya. Namun tentu saja, pendidikan formal hanya sepersekian persen pelajaran yang akan ia dapat. Karena pelajaran selebihnya adalah tugas saya dan Ayahnya. Kami yang akan mendidik anak kami sendiri tanpa intervensi pihak luar. Saya dan Ayahnya juga harus membantu semaksimal kami dalam menyelesaikan pelajaran sekolah. Membiarkan dan mendukung penuh mereka saat memilih dan menggapai cita-cita, harapan dan keinginannya. Memfasilitasi kebutuhan pendidikannya dan membimbingnya dalam menjalani pendidikannya.
“You educate a man, you educate a man…
You educate a woman, you educate a generation” –Brigham Young-
“One good mother is worth a hundred schoolmasters,” – George Herbert-
Kecerdasan spiritual atau kecerdasan agama, unsur yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa agama, tentu manusia tidak akan punya pegangan hidup. Berbicara mengenai agama, tentunya saya dan ayahnya akan mendidik anak kami kelak sesuai dengan ajaran agama kami, agama Islam. Anak-anak kami kelak, harus tahu bahwa setiap perbuatan dan langkah mereka ada campur tangan Allah di dalamnya. Mereka juga harus paham bahwa agama itu pedoman dan pegangan dalam hidup. Agama harus menjadi daily needs, dan bukan paksaan apalagi beban. Kepercayaan terhadap agamanya inilah yang nanti saya harapkan akan memunculkan sikap toleransi dan tenggang rasa yang tinggi dengan umat beragama lainnya.
“The whole purpose of religion is to facilitate love and compassion, patience, tolerance, humility, and forgiveness” -Dalai Lama-
PR saya adalah mencari cara yang paling sesuai untuk mendidik agama kepada anak. Bagaimana cara yang paling baik untuk memasukkan konsep ke-Tuhan-an kepada anak. Semoga saya masih bisa belajar. Tanpa agama, mau hidup bagaimana kita? Kalau kita sebagai orang tua sudah berhasil menanamkan kecintaan anak pada agama dan Allah, melekatkan iman dan taqwa di hati kepada Allah, apakah kita masih perlu takut mereka akan pindah ke Tuhan yang lain? InsyaAllah tidak.
“Prayer is not asking. It is a longing of the soul. It is daily admission of one’s weakness. It is better in prayer to have a heart without words than words without a heart.”
― Mahatma Gandhi-
Kecerdasan terakhir yang tak kalah penting adalah kecerdasan emosi. Bagaimana seseorang bisa mengendalikan dan menempatkan emosinya. Berbicara emosi, tidak berarti amarah. Emosi mencakup semua perasaan yang muncul dari dalam diri. Marah, sedih, mengasihi, empati, simpati, tooleransi, bahagia, terharu, kesal, depresi, dan lainnya. Mustahil rasanya seorang manusia tidak pernah mengalami berbagai macam emosi dalam hidupnya. Hal tersebut wajar, namun sebagai manusia yang baik, tentunya kita harus dapat mengontrol emosi kita. Kontrol emosi ini nantinya akan bersinggungan dengan bagaimana kita mengatur rasa dalam masyarakat. Yang pasti anak saya kelak harus punya rasa cinta, kepada Allah, kepada sesamanya, bahkan kepada hewan, tumbuhan dan lingkungan.
“The best and most beautiful things in the world cannot be seen or even touched. They must be felt with the heart”
― Helen Keller-
“Jadi Ibu itu gak gampang, Mel. Kamu harus jadi wonder woman, “ kata Ibu saya, selalu saya ingat. Tidak berlebihan rasanya jika saya liat Ia bisa melakukan apa pun. Untuk rumah, untuk suami, dan untuk kami, anak-anaknya.
Despite of all mother love, there is a warm love from father. Jangan lupakan peran Ayah. Kerja sama yang baik antara orang tua melalui cinta dan kasih sayang tentunya akan menghasilkan anak yang berkarakter, penuh kasih sayang, bahagia, mandiri dan percaya diri.
“Semua berawal dari keluarga”, Kasandra Putranto
“Home is a place where you are surrounded by other creatures that care about you”, Sandy (Spongebob)
“You don’t choose family, they are God’s gift to you. As you are to them”, Desmond Tutu
Bismillah.
Melisa Bunga Altamira,
Selasa, 8 Juli 2014