Halo Indonesia!

Hari ini tepat 17 Agustus 2021, memperingati kemerdekaan ke-76 tahun Republik Indonesia. Berhubung masih pandemi, tentu saja belum ada ritual-ritual umum yang biasa dilakukan seperti upacara bendera atau berbagai perlombaan khas. Sungguh rindu sekali, ya. Sama sekali gak pernah menyangka kita akan pernah ada di suatu fase kehidupan yang jauh dari kehidupan normal biasanya. Banyak yang hilang selama periode pandemi ini. Selain tentu saja nyawa, kita juga kehilangan banyak kegiatan, kesempatan berkomunikasi langsung, hingga bersosialisasi ke luar rumah.

Hari ini, selain berdoa dan berharap untuk keselamatan bangsa, saya memilih untuk menonton sebuah film, yang walau secara tidak langsung, terdapat latar belakang kisah perjuangan seorang tentara kemerdekaan. Namun secara umum, film ini berkisah tentang cinta yang berakhir pengkhianatan, juga tentang penerimaan dan keikhlasan.

Film dengan durasi 84 menit ini disutradarai oleh BW Purba Negara. Beberapa penghargaan sempat diraih film ini sejak rilis pada 2017. Sebuah film dengan tema sederhana, yang disusun dengan sangat apik, memberikan banyak pesan, dan memanjakan mata serta memperluas wawasan melalui keindahan alam dan berbagai budaya di pulau Jawa.

Sumber gambar: http://ulasan.film.kemdikbud.go.id/ulashias-film-ziarah-karya-bw-purbanegara/

Film Ziarah berkisah tentang perjalanan seorang istri pejuang kemerdekaan, Mbah Sri, dalam mencari lokasi makam sang suami. Ki Pawiro Sahid, pamit kepada sang istri, Mbah Sri, untuk pergi berperang membela tanah air saat tragedi Agresi Militer Belanda II pada 1949. Sebelum pergi, Ia berpesan pada Mbah Sri untuk mengikhlaskannya jika tidak pulang. Sebagai istri tentu saja Mbah Sri menangis dan tetap meminta Pawiro untuk kembali pulang setelah selesai berperang. Namun nyatanya, sejak pamit, Pawiro memang tidak pernah kembali pulang ke rumah.

Puluhan tahun Mbah Sri hidup menjanda dan memercayai bahwa suaminya telah wafat di medan perang. Selama itu pula, Ia selalu menziarahi sebuah makam di Taman Makam Pahlawan yang diyakini sebagai makam Pawiro, walau dalam nisannya tertulis “Tidak Dikenal”.

Sumber gambar: brilio.net

Keyakinan Mbah Sri berubah sejak bertemu dengan Mbah Rejo, rekan seperjuangan Pawiro di Taman Makam Pahlawan. Mbah Rejo mengatakan bahwa Ia tahu dimana Pawiro tertembak dan dimakamkan. Sejak saat itu, Mbah Sri punya semangat hidup baru yaitu mencari lokasi makam suaminya. Tujuannya sederhana. Ia hanya ingin dimakamkan persis di samping makam suami tercintanya, saat Ia wafat kelak.

Perjalanan Mbah Sri dimulai dari sini. Ia pergi dari rumah, tanpa pamit kepada cucunya. Cucu Mbah Sri, Prapto, tentu saja kebingungan. Setelah ayah dan ibunya meninggal, Ia dipesankan untuk selalu menjaga neneknya, Mbah Sri. Di sisi lain, Prapto yang ingin menikah tentunya memerlukan sosok Mbah Sri, tak hanya untuk merestui pernikahannya, tetapi juga sebagai perwakilan keluarga untuk meminang kekasihnya.

Berbagai kisah mengenai Pawiro dari berbagai saksi sejarah dan teman seperjuangannya, muncul di perjalanan ini. Perjalanan Mbah Sri, juga perjalanan Prapto dalam mencari Mbah Sri. Tak hanya berniat menyusul Mbah Sri, Prapto juga kemudian berupaya menelusuri kisah tentang sang kakek, Pawiro Sahid.

Kisah pertama tentu saja dari Mbah Rejo, yang wafat tepat sebelum Prapto berhasil menemuinya. Kejadian saat Pawiro wafat tertembak, didokumentasikan Mbah Rejo melalui sebuah lukisan yang Ia buat untuk cucunya. Dari lukisan tersebut diketahui Pawiro wafat dengan bersimbah darah setelah mengendarai mobil Jeep hasil rampasannya dari Belanda. Pawiro disinyalir ditembak oleh sesama pejuang akibat dikira sebagai Belanda karena menggunakan kendaraan mereka. Mbah Rejo meyakini bahwa Pawiro dimakamkan di dekat lokasinya tertembak. Namun di mana lokasinya masih misteri. Prapto kemudian menemui rekan perjuangan Mbah Rejo dan Pawiro yang bernama Pak Abdi. Beliau yang menyebutkan lokasi tertembaknya Pawiro yaitu Alas Pucung.

Kisah kedua datang dari seorang warga Desa Kalinongko yang ditemui Prapto. Kisah ini bertolak belakang dengan kisah pertama yang lekat dengan kesan heroik. Dari cerita sang warga, Pawiro Sahid wafat di tangan bangsanya sendiri. Ia diduga menjadi mata-mata Belanda karena sempat menunjukkan rumah penduduk yang memiliki banyak hewan ternak, untuk dirampas Belanda.

Kisah ketiga, menjadi kisah terakhir perjalanan Mbah Sri dan Prapto. Kisah ini jua lah yang membuka sebuah kenyataan pahit yang harus diterima oleh Mbah Sri. Kisah terakhir diceritakan oleh Mbah Wongso bahwa ternyata Pawiro Sahid belum meninggal setelah ditembak Belanda. Walau pun bersimbah darah, Ia sempat ditolong warga. Namun karena kondisinya yang sangat parah, ditambah lagi warga tidak memiliki ilmu pengobatan, Pawiro kemudian dibawa ke Kyai Husodo, sesepuh yang diyakini dapat mengobati dan menyembuhkan. Tapi di balik itu, ada penyebab lain yang dipercaya membuat Pawiro tidak meninggal. Ia menyimpan pusaka, sebuah keris kecil yang berpasangan dengan keris yang dipegang Mbah Sri. Keris ini jugalah yang kemudian ‘membantu’ Mbah Sri mencari makam suaminya.

Ternyata, mencari dan menemui Kyai Husodo bukan perkara mudah. Walau sudah memegang alamat Kyai Husodo, Mbah Sri kesulitan menemukan alamat rumah tersebut. Warga sekitar pun tak ada yang mengenalnya. Hingga akhirnya Mbah Sri bertemu dengan Mbah Tresno yang merupakan anak dari Kyai Husodo. Pada awalnya, Mbah Tresno mengaku mengenal Pawiro Sahid saat Mbah Sri menunjukkan fotonya. Ia juga mengatakan bahwa Pawiro dimakamkan di Pemakaman Muktilaya, dan menyarankan Mbah Sri untuk ziarah keesokan hari. Namun di keesokan hari, Mbah Tresno justru mengatakan bahwa Ia salah mendengar nama yang dimaksud Mbah Sri. Mbah Tresno mendengarnya sebagai “Perwito”, bukan ‘Pawiro”, dan mengatakan di Pemakaman Muktilaya tidak ada makam atas nama Pawiro Sahid.

Sumber gambar: tirto.id

Walau sedih karena hilang harapan, Mbah Sri bersikukuh tetap ingin menyambangi Pemakaman Muktilaya. Kejanggalan mulai terasa di sini. Mbah Tresno lalu mendatangi beberapa warga desa dan meminta untuk menunjukkan arah pemakaman yang salah jika ada yang bertanya lokasi Pemakaman Muktilaya. Benar saja, Mbah Sri akhirnya sampai di pemakaman yang salah. Beruntung, seorang pemuda yang hendak mengantarkan Mbah Sri ke terminal untuk pulang, justru menunjukkan lokasi Pemakaman Muktilaya yang sebenarnya. Lalu, sebenarnya apa yang sedang dicoba ditutupi oleh Mbah Tresno? Apakah Mbah Sri benar-benar bisa menemukan makam suami tercintanya di Pemakaman Muktilaya?

Melalui film ini, kita seperti diingatkan untuk selalu membuka mata dan telinga mengenai kisah sejarah. Yang mungkin saja kebenarannya bisa berbeda, tergantung dari sudut pandang pencerita. Namun intinya, kita kembali lagi ke momen peringatan kemerdekaan Indonesia, bahwa kemerdekaan ini dapat terwujud melalui perjuangan, air mata, keringat, darah, bahkan nyawa para pejuang kita kepada tanah air. Berbagai kisah heroik yang pernah kita dengar, seharusnya dapat menjadi cambuk untuk terus mencintai dan memajukan Indonesia.

Dirgahayu Republik Indonesia!

 

Sumber gambar featured image: http://ulasan.film.kemdikbud.go.id/ulashias-film-ziarah-karya-bw-purbanegara/