Kalau kita bicara tentang sejarah kota Jakarta, rasanya gak abis-abis ya ceritanya. Termasuk juga bangunan-bangunan bersejarahnya yang juga banyak menjadi bangunan cagar budaya. Kali ini, gw ikutan lagi walking tour yang temanya Queen of the East alias Ratu dari Timur. Dulu, Jakarta atau Batavia, memang disiapkan oleh Belanda sebagai copy paste-nya Amsterdam. Jakarta merupakan pusat perdagangan yang lokasinya sangat strategis dan kekayaan alamnya yang melimpah ruah. Yuk langsung aja kita cuss lets go!

Pernahkah terbersit bahwa dulu di Jakarta terdapat sebuah kastil besar serta megah nan mewah yang berdiri berdampingan dengan Sungai Ciliwung? Yup, namanya Kastel Batavia. Kastel Batavia dibangun bersamaan dengan masuknya VOC ke Batavia. Areanya luas membentang di Jakarta Utara meliputi Kelurahan Ancol (Kampung Tongkol), Pademangan, hingga Pinangsia dan Kali Besar. Layaknya sebuah bangunan kastil, Kastel Batavia dikelilingi oleh parit-parit kecil. Tak hanya itu, Kastel Batavia juga memiliki empat sudut pertahanan (atau disebut dengan Bastion) yang menghadap ke empat arah mata angin yaitu Bastion Diamant di sudut Barat Daya (yang mengarah ke area Kali Besar, sehingga disebut dengan Kota Intan dari kata Diamant atau Diamond), Bastion Robijn (atau Rubi) di sudut Barat Laut, Bastion Saphier (atau Safir) di sudut Timur Laut, dan Bastion Parel (atau Pearl) di sudut Tenggara. Selain itu, poros Kastel Batavia juga dibangun sejajar menuju Balai Kota Batavia (sekarang menjadi Museum Fatahillah). Sayangnya, kastil ini dihancurkan pada 1809 pada saat pemerintahan Daendels.

Di seberang kastil tersebut, terdapat dua buah benteng yang digunakan sebagai gudang penyimpanan rempah-rempah (saat ini menjadi Museum Bahari) yaitu Bastion Culemborg dan Bastion Zeeburg. Bastion Culemborg saat ini masih ada, sementara Bastion Zeeburg hanya dapat dilihat sisa-sisa temboknya karena sudah menempel dengan bangunan rumah penduduk. Di atas Bastion Culemborg dibangun sebuah menara pemantau kapal-kapal yang keluar dan masuk ke Batavia melalui Pelabuhan Sunda Kelapa, yang dikenal dengan Komplek Menara Syahbandar. Menara ini dibangun pada 1839 dan awalnya diberi nama Uitkijk. Tak hanya berfungsi sebagai menara pengawas, lantai bawahnya juga difungsikan sebagai kantor bea cukai pada zaman tersebut.

Bangunan Cagar Budaya, Menara Syahbandar

Terdapat sebuah fakta menarik, konon pemerintah Belanda saat itu membangun sebuah jalur rahasia berupa terowongan yang berada di bawah Menara Syahbandar, menghubungkan menara dengan Benteng Frederik Hendrik (benteng penguatan Belanda yang dibangun pada 1837 dan dihancurkan pada 1961, saat ini sudah menjadi bangunan Masjid Istiqlal). Saat ini, Menara Syahbandar dijuluki sebagai Menara Pisa di Batavia karena bangunannya yang miring akibat penurunan permukaan tanah.

Ini dia terowongan rahasianya

Kelihatan miring gak menaranya?

Yang juga menarik, di lantai bawah Menara Syahbandar juga ditemukan dua prasasti dari Cina yang mencatat bahwa garis bujur utama melewati titik tersebut. Itu sebabnya ruangan tersebut dipercaya sebagai garis/titik nol meridien Batavia. Pada catatan yang tertulis di ruang pamer tersebut, tidak diketahui siapa yang meletakkan batu tersebut serta kapan batu tersebut diletakkan. Diduga, kedua prasasti tersebut dibuat sekitar tahun 1888.

Dua prasasti Cina yang menyatakan titik nol Batavia

Bergeser sedikit dari Menara Syahbandar, kita akan berjumpa dengan bekas gudang penyimpanan rempah-rempah milik VOC, yang saat ini dikenal dengan Museum Bahari. Museum Bahari merupakan salah satu museum yang cukup bikin penasaran untuk didatangi. Seperti yang kita ketahui, kenapa kita disamperin Belanda, ya, karena kekayaan rempah-rempah yang dimiliki Indonesia. Saat itu, komoditas rempah yang banyak dicari seperti cengkih, pala, lada, hingga teh dan kopi. Semua rempah tersebut disimpan Belanda di gudang ini. Sementara itu, pada masa pendudukan Jepang, sempat dialihfungsi sebagai lokasi penyimpanan logistik senjata mereka. Gudang ini kemudian dipugar dan ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada 1976 dan diresmikan menjadi Museum Bahari pada 7 Juli 1977. Saat ini Museum Bahari menampilkan koleksi kebaharian Indonesia seperti ragam jenis kapal tradisional, peta persebaran ikan di perairan Indonesia, alat-alat perkapalan (jangkar, teropong, dll), hingga diorama navigator dunia.

Selamat datang di Museum Bahari!

Sedihnya, pada 2018 Museum Bahari mengalami musibah kebakaran yang menghancurkan koleksinya di Gedung C seperti alat navigasi laut dan miniatur perahu tradisional. Ruang bekas kebakaran tersebut saat ini sudah direnovasi kembali dan menjadi ruang memorial Museum Bahari yang mengkurasi berbagai jejak dan sisa-sisa kebakaran saat itu. Mulai dari pemberitaan di media massa, hingga sisa-sisa koleksi yang masih dapat diselamatkan. Oiya jika diperhatikan, di beberapa bagian Museum Bahari juga mengalami penurunan permukaan tanah.

Salah satu koleksi museum

Area dalam museum

Lanjut nyebrang dari area Menara Syahbandar dan Museum Bahari kita menuju ke Kampung Tongkol. Nah, di Kampung Tongkol inilah sisa-sisa tembok Kastel Batavia masih berdiri, walau wujudnya sudah tidak utuh. Mulai dari yang hanya tersisa di pinggiran aliran Kali Ciliwung, hingga yang masih berdiri kokoh dengan beragam kekurangannya.

Bisa dilihat bongkahan di pinggir kali yang tampak seperti bata-bata kecil, itulah peninggalan tembok Kastel Batavia

Yang menarik, sisa bangunan bersejarah ini berada persis berdampingan dengan rumah penduduk di Kampung Tongkol. Penamaan kampung ini merujuk pada salah satu spesies ikan yaitu tuna makerel. Sejak 1960, terdapat sekitar lebih kurang 50 rumah penduduk yang saat ini sudah mengalami perbaikan terutama sisi rumah mereka yang berbatasan langsung dengan aliran kali. Para warga dan Komunitas Anak Kali Ciliwung, serta didukung oleh program Pengabdian kepada Masyarakat dari Departemen Arsitektur FTUI menata kembali ruang bersejarah tersebut agar rumah warga dan aliran kali memiliki jarak. Para warga juga aktif melakukan kerja bakti untuk merawat bangunan tua bersejarah tersebut. Namun sayangnya, Ketika kami sampai di sana, kondisinya sungguh tidak terawat. Sampah berserakan dengan aroma yang menyengat, kondisi dalam bangunan yang sudah sangat berantakan, hingga sarang nyamuk dan lalat yang cukup mengganggu.

Masuk dalam program pengmas FTUI

Kompleks Kastel Batavia. Bangunan yang tersisa ini dulunya adalah gudang makanan

Penampakan dalamnya, beneran gak terawat

Pintu masuk kastil yang berbatasan langsung dengan rumah warga

Masih ingat salah satu bastion yang dimiliki Kastel Batavia yaitu Bastion Diamant? Persis di ujung Bastion Diamant dibangun sebuah jembatan pada 1628 (saat ini daerah Kali Besar), sehingga jika dihitung saat ini usia jembatan tersebut sudah mencapai 396 tahun. Jenis jembatan yaitu jembatan gantung dengan sistem yang dapat membelah jembatan jadi dua dan mengangkatnya ketika akan ada kapal yang lewat. Sebelum diberi nama Jembatan Kota Intan, jembatan ini sempat empat kali berganti nama yaitu Jembatan Inggris (terdapat kubu pasukan Inggris saat jembatan dibangun); Jembatan Pasar Ayam (karena sempat ada pasar ayam di atas jembatan); Jembatan Pusat; Jembatan Ratu Juliana; hingga akhirnya diberi nama Jembatan Kota Intan (setelah proklamasi kemerdekaan) karena berlokasi di ujung Bastion Diamant (diamond/intan).

Jembatan Kota Intan

Jalan sedikit dari Jembatan Kota Intan, kita akan bertemu salah satu bangunan cagar budaya bersejarah, Toko Merah. Toko Merah dibangun pada 1730 oleh Gubernur Jenderal VOC periode 1743-1750, Gustaaf Willem baron van Imhoff. Nama Toko Merah merujuk pada warna bangunan yang berasal dari susunan bata berwarna merah. Tapi ada juga yang mengasosiasikan Toko Merah dengan peristiwa Geger Pecinan, di mana saat itu banyak warga Tionghoa yang dibunuh dan mayatnya berserakan serta dibuang di sekitar Kali Besar sehingga membuat air di Kali Besar berwarna merah. Saat ini Toko Merah difungsikan sebagai coffee shop.

The legendary, Toko Merah

Destinasi walking tour kita yang terakhir adalah Museum Fatahillah. Gedung ini tak dapat dipisahkan juga dari perjalanan sejarah Kastel Batavia. Dulu, Museum Fatahillah merupakan bangunan pusat kota yang difungsikan sebagai kantor gubernur. Sesuai namanya, Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta akan membawa kita kembali ke masa awal Batavia di zaman kolonial. Koleksi museum terdiri dari prasasti, barang-barang peninggalan kolonial Belanda, hingga replika perjalanan sejarah Jakarta. Cerita menariknya adalah kami ditunjukkan sebuah prasasti yang tidak sengaja ditemukan mengambang di Kali Ciliwung dan sedang digunakan sebagai papan pencuci baju oleh warga setempat.

Dikira papan penggilesan guis

Kalau ke Museum Fatahillah, jangan lupa untuk ‘mampir’ ke penjara bawah tanah, baik penjara untuk tahanan pria dan tahanan wanita. Jujur, gw baru tahu penjara bawah tanah untuk wanita ternyata wujudnya jauh lebih mengenaskan dari penjara pria. Tinggi penjara hanya satu meter, artinya para tahanan tidak akan dapat berdiri. Tidak ada pencahayaan dan sarana ventilasi udara yang minim. Salah seorang pahlawan kita, Cut Nyak Dhien, pernah dipenjara di sini selama sembilan bulan sebelum dibawa ke Sumedang hingga wafat di sana. Sementara itu, di lantai atas merupakan kamar pengasingan Pangeran Diponegoro. Para tahanan di penjara bawah tanah adalah tahanan yang sedang menunggu waktu eksekusi mati melalui hukum gantung yang dilakukan di lapangan depan kantor gubernur. Eksekusi mati ini biasanya akan ditonton oleh banyak orang.

Ini penjara bawah tanah untuk tahanan pria. Bisa puluhan orang dalam ruang sempit ini. Makan, minum, buang air, semua dilakukan di sini. Gak kebayang 🙁

Gelap, kotor, bau. Gak sedikit tahanan yang keburu meninggal sebelum dihukum gantung karena penyakit

Untuk tahanan wanita gak kalah mengenaskan, ini tangga turun menuju penjaranya 🙁

Tingginya 1 meter, tahanan cuma bisa duduk. Ventilasi minim, gelap. Pilu banget ngebayanginnya 🙁

Di atas penjara wanita, ada kamar pengasingan Pangeran Diponegoro. Sayang kemarin lagi renovasi

Well, setelah Museum Fatahillah, berakhirlah tur kami kali ini. Sebagai penutup, kami diberikan refreshment di kedai jamu modern, Acaraki. Menyenangkan juga dapat cerita baru tentang jamu yang berasal dari kata ‘djampi’ yang artinya doa, dan ‘oesodo’ yang artinya kesehatan. See you on the next walking tour!

Acaraki!

Rempah-rempah inilah yang jadi daya tarik Indonesia di mata dunia 😀

Referensi:
https://museum.kemdikbud.go.id/museum/profile/museum+bahari
https://jakarta-tourism.go.id/article/detail/museum-fatahillah
http://architectureheritage.or.id/detail/194/bastion-cullemborg
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-57226724
https://id.wikipedia.org/wiki/Kastel_Batavia
https://id.wikipedia.org/wiki/Jembatan_Kota_Intan
https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Toko_Merah