Sebagai warga Depok, masa iyaa gak tau cerita tentang Depok. Yuk sini sini kita ngerumpi! Setelah ratusan purnama, gw kembali join walking tour dengan rute Depok: Tanah 12 Marga. Sejak 1993 gw tinggal di Depok, baru ini gw tahu kisah sejarah yang ada di Depok.

Sama seperti beberapa daerah lainnya, perkembangan kota Depok gak lepas dari campur tangan Belanda. Kawasan Depok sendiri tercatat sudah ada sejak 1819, tetapi masih merupakan kawasan kosong yang belum berkembang. Hingga akhirnya pada 1899, Belanda mulai melirik Depok untuk menjadikannya sebagai kawasan pemerintahan berikutnya. Namun, sebelum mereka benar-benar pindah ke Depok, perlu dipikirkan dulu fasilitas umum yang dapat menunjang kenyaman mereka. Oleh karena itu, Depok mulai dikembangkan dengan membangun kantor wedana (jabatan di bawah Bupati, di atas Camat), kantor polisi, jalur transportasi (kereta api, Stasiun Depok Lama), kantor pos/telegraf, sekolah (Europeschee Lagere School), gereja (Gereja Immanuel, dibangun pada 1854), hingga kedai kopi (menjual dodol dan kopi). Barulah ketika listrik pertama kali masuk Depok yaitu tahun 1930, dibangun tiang telepon pertama yang berlokasi dekat kantor pos.

Penanda transformator kereta di lantai

Gereja GPIB Immanuel, bangunan cagar budaya yang dibangun pada 1854, masih beroperasi hingga kini. Di tiap pintu gereja, terpatri 12 marga warga Depok

Tiang telepon pertama di Depok

Perkembangan kota Depok jauh sebelum Belanda datang, tidak lepas dari sosok yang bernama Cornelis Chastelein. Siapakah dia? Menurut catatan, Cornelis Chastelein adalah seorang saudagar tanah kaya raya yang hidup pada abad ke-17. Ia adalah anak saudagar kaya asal Belanda yang tinggal di Perancis. Setelah orangtuanya meninggal, Cornelis Chastelein, adik dan bibinya, berlayar dari Belanda ke Batavia menggunakan kapal laut. Perjalanan tersebut ditempuh selama 214 hari. Sesampainya di Batavia, Cornelis Chastelein bekerja di VOC sebagai seorang akuntan. Sosoknya yang baik, cerdas, jujur, dan taat beragama (kristen taat) melancarkan kariernya hingga akhirnya diangkat sebagai Gubernur Jenderal. Tentu saja di sisi lain, karena kebaikan dan kejujurannya, ia juga banyak dimusuhi.

Kariernya yang cemerlang menjadikannya sebagai orang terpandang kala itu. Tanahnya banyak sekali, membentang di pusat ibukota mulai dari area lapangan Banteng, Gambir, Senen, Sawah Besar, hingga Pejambon. Di sana, ia mengembangkan perkebunan karena tanahnya yang subur, dibuktikan dengan banyaknya Banteng yang merumput (kondisi yang melatarbelakangi sebutan lokasi Lapangan Banteng). Bahkan Cornelis Chastelein tak segan-segan untuk mendatangkan ahli-ahli botani dari Bali, untuk mengembangkan perkebunan tersebut. Saat itu, ahli-ahli tersebut menetap di daerah yang saat ini kita kenal sebagai Kampung Bali, Tanah Abang. Cornelis Chastelein juga membangun rumah peristirahatan yang sekarang menjadi bangunan RSPAD Gatot Soebroto.

Setelah tanahnya di area pusat ibukota terus berkembang, Cornelis Chastelein mulai berpikir untuk mencari area lain yang dapat dikembangkan. Pilihannya jatuh ke area Selatan Batavia yaitu Lenteng Agung dan Depok. Namun sayangnya, kontur daerah Lenteng Agung lebih sulit dikembangkan jika dibandingkan dengan daerah Depok. Inilah yang akhirnya menyebabkan perkembangan kota Depok jauh lebih masif dan tertata dibandingkan area Lenteng Agung dan sekitarnya.

Setelah memutuskan pindah ke Depok, Cornelis Chastelein membawa serta budak-budaknya yang dulu bekerja di pusat ibukota untuk membantunya mengembangkan Depok. Budak-budak ini berasal dari Maluku, Makassar, Bali, Sunda, dan lainnya. Mereka dinamakan sesuai dengan daerah asalnya, misalnya Maria van Bali, dan lainnya. Kelak, mereka dipercaya sebagai masyarakat awal yang tinggal di Depok. Saking seringnya mereka bergaul dengan warga Belanda, para budak ini kemudian menjadi terpengaruh dengan gaya hidup dan budaya orang Belanda, seperti menu makanan, cara berpakaian, hingga gaya berbicara. Inilah yang kemudian memunculkan istilah “Belanda Depok”.

Walau ia memiliki banyak budak pribumi, Cornelis Chastelein selalu berharap budaknya tidak boleh menjadi budak selamanya. Kelak, mereka harus merdeka. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi wasiat yang ia buat sebelum meninggal bahwasanya seluruh budaknya akan dimerdekakan jika Cornelis Chastelein wafat. Selain itu, Cornelis Chastelein juga akan memberikan tanahnya kepada mereka. Namun demikan, ia memiliki syarat bahwa para budak yang akan merdeka, harus memeluk agama kristen. Syarat ini bukan tanpa dasar, karena saat itu memang berlaku undang-undang yang menyebutkan bahwa jika seorang budak ingin merdeka, maka harus memeluk kristen. Untuk itu, Cornelis Chastelein pun tidak memaksa. Ternyata, banyak budak yang menerima syarat tersebut dan pindah memeluk kristen. Hingga akhirnya Cornelis Chastelein wafat pada 28 Juni 1714, mereka mendapatkan tanah sesuai wasiat. Setelah memeluk kristen, para budak tersebut kemudian mengganti nama mereka dengan nama-nama yang tertulis di alkitab dan nama marga lokal dari daerah asal masing-masing (yang kelak dikenal sebagai 12 marga) yaitu Joseph, Isakh, Laurens, Tholense, Bacas, Loen, Zadokh, Samuel, Jacob, Leander, Soedira, dan Jonathans. Hingga saat ini, hanya 11 marga yang masih lestari. Zadokh sudah hilang karena tidak memiliki penerus laki-laki.

Pada 28 Juni 1914, 200 tahun setelah Cornelis Chastelein wafat, dibuatlah sebuah tugu peringatan untuk mengenang keputusan pembebasan budak yang ia lakukan. Tugu tersebut berada di halaman RS Harapan Depok (saat ini RS tersebut sudah tidak beroperasi). Hingga saat ini, jejak kisah Cornelis Chastelein masih abadi melalui Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein yang rutin mengadakan aksi sosial sekaligus merawat bukti-bukti sejarah Cornelis Chastelein.

Tugu peringatan 200 tahun wafatnya Cornelis Chastelein

Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein

Ruang dalam YLCC

Saat ini, jika kita menyusuri Jl. Pemuda, Depok, maka kita akan menemukan banyak sekali bangunan peninggalan Belanda. Ada yang masih difungsikan sebagai rumah, toko/restoran, hingga sekolah, dan gereja. Cerita menarik, sebelum bernama Jl. Pemuda, sepanjang jalan tersebut bernama Jl. Gereja. Setelah ada peristiwa Gedor Depok yang dipimpin pemuda, yaitu Margonda, nama jalannya berubah menjadi Jl. Pemuda.

Di akhir perjalanan, kami diajak untuk istirahat sejenak di salah satu rumah makan yang menyajikan penganan khas Belanda, Tante Thea Snoephuis. Di sana, kami mendapat refreshment poffertjes dan berkesempatan bertemu Tante Thea.

Tante Thea Snoephuis, Jl. Sumur Batu No. 10, Depok

Refreshment poffertjes (compliment), enak gak terlalu manis. Dipadukan sama butter jadi makin yummyy. Gw beli klappertart with rhum (ada yang tanpa rhum), otentik syekalee rasanyaa 😀

Bersama Tante Thea 😀