Mendengar ketiga nama jenderal tersebut, tentu tak akan lepas dari kisah G30S/PKI pada tahun 1965. Ya, Indonesia memiliki sejarah panjang perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Di antara barisan para pahlawan yang berjasa, nama Jenderal Ahmad Yani, Jenderal M.T. Haryono, dan Jenderal A.H. Nasution selalu dikenang sebagai sosok militer yang tidak hanya gagah di medan perang, tetapi juga teguh dalam prinsip dan semangat nasionalisme. Ketiganya merupakan tokoh penting dalam perjalanan sejarah Indonesia pada masa pergolakan politik dan militer di era 1960-an, terutama menjelang dan sesudah peristiwa G30S/PKI. Mereka berperan besar dalam menjaga keutuhan bangsa dan menegakkan nilai-nilai Pancasila. Dalam cerita kali ini, masih dengan provider tour yang sama yaitu Walkindies, gw mau berbagi cerita saat berkunjung ke tiga rumah pahlawan tersebut. Rumah yang menjadi saksi bisu kekejaman pasukan Tjakrabirawa yang nihil nurani.

Jenderal M.T. Haryono: Poliglot nan Patriotik
Jenderal Mayor Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono, atau lebih dikenal sebagai M.T. Haryono, lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Ia merupakan perwira Angkatan Darat yang juga dikenal memiliki kecerdasan luar biasa. M.T. Haryono adalah seorang poliglot, ia fasih berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan tentu saja Indonesia. Kemampuan tersebut membuatnya sering dilibatkan dalam perundingan diplomatik pascakemerdekaan Indonesia.

Dini hari 1 Oktober 1965, rumahnya di kawasan Jl. Prambanan No. 8, Menteng, didatangi oleh pasukan Tjakrabirawa. Mariatni, sang istri, yang membukakan pintunya dan bertanya maksud kedatangan pasukan tersebut. Tjakrabirawa mengatakan M.T . Haryono diminta untuk menghadap presiden segera karena negara dalam keadaan genting. Mariatni kemudian menyuruh mereka menunggu di luar dan masuk kembali untuk menyampaikan hal tersebut kepada suaminya. Saat itu M.T. Haryono berpesan agar pasukan Tjakrabirawa kembali lagi di pagi hari. Ia juga sudah memiliki firasat bahwa akan terjadi hal buruk. Maka dari itu, M.T. Haryono meminta istrinya untuk mencari tempat berlindung bersama anak-anaknya, yaitu pindah ke kamar lain. Mariatni pun kembali ke pintu dan menyampaikan pesan tersebut ke pasukan Tjakrabirawa. Namun mereka menolak untuk datang kembali di pagi hari dan tetap memaksa M.T. Haryono untuk ikut saat itu juga. Mariatni kembali meminta mereka untuk menunggu dan kembali masuk untuk menyampaikan pesan tersebut ke suaminya. Di sinilah, pasukan Tjakrabirawa ikut menyeruak masuk ke dalam rumahnya dan mencari sasarannya, M.T. Haryono. Kondisi rumah yang dalam keadaan gelap cukup menyulitkan mereka mencari M.T. Haryono. Namun juga menguntungkan bagi Mariatni dan anaknya untuk sempat mencari tempat aman.

Kediaman M.T. Haryono di Jl. Prambanan No. 8, Menteng

Merasa terlalu gelap, pasukan Tjakrabirawa pun berusaha membakar kertas untuk mencari cahaya. Saat inilah mereka berhasil masuk ke kamar utama dan menemukan M.T. Haryono bersembunyi di balik lemari. Tanpa belas kasihan, berondongan tembakan membuat sang jenderal gugur. Jasadnya kemudian dibawa oleh pasukan Tjakrabirawa ke Lubang Buaya. Selain ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi, penghargaan atas jiwa kepahlawanan beliau, nama M.T. Haryono diabadikan sebagai nama ruas jalan utama di Jakarta Timur. Saat ini, rumah peninggalan beliau pun telah dijadikan museum dan terbuka untuk umum.

Jenderal Ahmad Yani: Tegas dan Berintegritas
Jenderal Ahmad Yani lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 19 Juni 1922. Sejak muda, ia sudah tertarik dengan dunia militer. Sepanjang berkarier, ia pernah memimpin beberapa operasi militer dan ditempatkan di beberapa daerah di Indonesia.

Pada waktu yang sama, dini hari 1 Oktober 1965, rumah dinasnya diketuk oleh pasukan Tjakrabirawa. Saat itu, sang jenderal langsung yang membukakan pintu karena sang istri, Yayu Rulia Subandiah, saat itu sedang tidak di rumah. Pasukan Tjakrabirawa melontarkan pesan yang sama, Ahmad Yani diminta menghadap presiden. Mengingat masih menggunakan baju tidur, Ahmad Yani meminta waktu untuk mengganti bajunya. Namun, permintaan tersebut ditolak tegas dengan bentakan oleh pasukan Tjakrabirawa. Ahmad Yani yang saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) merasa tidak berkenan dibentak sehingga memukul anggota Pasukan Tjakrabirawa yang membentak tersebut. Aksi tersebut mengundang berondongan tembakan yang langsung membuat sang jenderal roboh dan gugur seketika. Jasadnya kemudian dibawa oleh pasukan Tjakrabirawa ke Lubang Buaya. Sebagai penghargaan atas jiwa kepahlawanan beliau, nama Ahmad Yani diabadikan sebagai nama bandar udara di Semarang. Saat ini, rumah peninggalan beliau pun telah dijadikan museum, terbuka untuk umum, dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagr budaya.

Rumah Jenderal Ahmad Yani dibangun pada tahun 1930

Di lokasi ini, Jenderal Ahmad Yani jatuh tertelungkup dan gugur karena tertembak

Ilustrasi yang menggambarkan kejadian sebelum Jenderal Ahmad Yani ditembak

Jenderal A.H. Nasution: Strategis dan Visioner
Jenderal Abdul Haris Nasution, atau dikenal dengan A.H. Nasution, lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, pada 3 Desember 1918. A.H. Nasution merupakan satu-satunya jenderal yang selamat dari penculikan para jenderal pada 1 Oktober 1965. Dini hari itu, kediaman beliau di Jl. Teuku Umar, Menteng, didatangi pasukan Tjakrabirawa. Johanna Sunarti, istri sang jenderal yang membukakan pintu. Mereka kemudan masuk ke rumah mencari A.H. Nasution. Firasat keduanya sudah mengatakan bahwa akan terjadi hal buruk dini hari itu. Beruntungnya, jarak pintu utama dan kamar utama cukup berjarak. Johanna pun sempat menahan pintu kamar sehingga memberikan kesempatan pada A.H. Nasution untuk bersembunyi. Walaupun pasukan Tjakrabirawa melepaskan beberapa tembakan, ia tetap berlari dan melompati tembok ke bangunan sebelah rumahnya yaitu Kedutaan Besar Irak. Jika dibayangkan dengan logika, tembok pembatas antara rumah A.H. Nasution dengan Kedutaan Besar Irak tergolong cukup tinggi. Namun demikian, beliau tetap bisa melompati temboknya dan bersembunyi hingga pagi.

Di kamar A.H. Nasution ini masih dapat kita lihat lubang-lubang bekas peluru di tembok dan pintu

Yang menyedihkan, tembakan yang dilepas tersebut salah satunya mengenai punggung Ade Irma Suryani, anak bungsu A.H. Nasution dan Johanna Sunarti yang saat itu sedang digendong oleh bibinya. Seketika, Ade bersimbah darah. Tanpa hati nurani, pasukan Tjakrabirawa tetap bergerilya mencari A.H. Nasution. Mereka menuju ke paviliun sebelah rumah utama A.H. Nasution. Di sana, tinggal beberapa ajudan A.H. Nasution, salah satunya yang termuda bernama Kapten Pierre Tendean. Saat Pasukan Tjakrabirawa bertanya di mana A.H. Nasution, dengan gagah berani Pierre menjawab, “Saya ajudan Nasution.” Jawaban ini yang membawa Pierre pada dini hari yang kelam dan panjang dalam penculikan dan penyiksaan hingga meninggal di Lubang Buaya.

Diorama yang memperlihatkan kondisi rumah malam itu, Ade Irma tertembak di punggung

Sementara, Ade Irma Suryani, yang saat itu berusia 5 tahun, segera dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto dan mendapat perawatan intensif di sana. Namun, Ade akhirnya meninggal pada 6 Oktober 1965. Setelah kejadian tersebut, A.H. Nasution tetap aktif dalam memberantas PKI hingga diangkat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Pada 5 Oktober 1997, A.H. Nasution, bersama Soeharto dan Soedirman, dianugerahi pangkat kehormatan Jenderal Besar. A.H. Nasution wafat pada 5 September 2000 di usia ke 81 tahun setelah menderita sakit. Ia kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sang istri, Johanna Sunarti, menyusul pada 2010.

Ketiganya merupakan tokoh dengan simbol keberanian, kesetiaan, keteguhan hati, serta jiwa ksatria dalam menjaga Indonesia. Saat ini, kita sebagai generasi muda, wajib untuk terus mengingat jasa para pahlawan bukan hanya dengan mengenang kisah hidup mereka, tetapi juga dengan meneladani semangat juang yang mereka wariskan.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.”
— Ir. Soekarno