Siapa yang masih ingat dengan peristiwa sejarah di malam 30 September 1965? Malam itu, Jenderal Abdul Haris Nasution dikepung di kediamannya oleh Pasukan Cakrabirawa karena beliau gencar menumpas PKI. Beruntung, beliau berhasil menyelamatkan diri dengan melompat tembok dan bersembunyi di Kedutaan Irak yang berada tepat di sebelah rumahnya. Namun naas, putri kedua Jenderal A.H. Nasution, Ade Irma Suryani Nasution, tertembak oleh Pasukan Cakrabirawa. Ade Irma Suryani Nasution sempat menjalani perawatan intensif di RSPAD Gatot Soebroto, sebelum akhirnya meninggal pada 6 Oktober 1965. Sang ajudan pun, Lettu Czi Pierre Tendean diculik, disiksa, dan dibunuh di Lubang Buaya. Hingga hari ini, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai hari G30S/PKI atau Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
Hari ini, 2 Oktober 2019, dalam rangka mengingat kembali sejarah di malam 30 September 1965, saya mengunjungi Museum A.H. Nasution yang terletak di Jl. Teuku Umar No.40, Menteng, Jakarta Pusat. Kunjungan ini diinisiasi oleh rekan kantor saya, Mas Adi. Tentu saja kami tidak hanya berdua pergi ke sana. Ada Riska, Denny, Arimbi, Mba Indah, Mba Rizkan, dan Revina. Ngabur sejenak dari hiruk pikuk kesibukan kantor.

kiri ke kanan: Mas Adi, Riska, Melisa, Mba Indah, Arimbi, Mba Rizkan, Revina, dan Denny
Dulunya, museum ini merupakan rumah tinggal A.H. Nasution sekeluarga. Museum A.H. Nasution diresmikan pada tanggal 3 Desember 2008, bertepatan dengan hari kelahiran beliau 3 Desember 1918, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terdapat beberapa ruangan yang dapat kita masuki di sana. Ruangan yang menjadi saksi sejarah perjuangan anak bangsa, sekaligus sebagai saksi wafatnya sang putri tercinta.
Ruangan pertama yang kita temui saat masuk ke dalam museum adalah ruang tamu. Terdapat sebuah patung setengah badan A.H. Nasution di sini. Sesuai namanya, ruangan ini biasa digunakan oleh A.H. Nasution, atau yang kerap disapa Pak Nas, untuk menerima tamu, baik rekan-rekannya di kalangan militer, keluarga, mau pun masyarakat. Terpampang beberapa foto bersejarah yang menampilkan Pak Nas saat dipercaya memegang beberapa jabatan, seperti Panglima Divisi Siliwangi (1946), Menko Hankam/Kasab (1962), hingga Ketua MPRS (1966). Terdapat pula beberapa cinderamata yang diberikan oleh kolega-koleganya kepada Pak Nas.
Ruangan kedua yang kita lewati adalah ruang kerja Pak Nas. Tak hanya gagah sebagai seorang jenderal di lapangan, Pak Nas juga piawai dalam menulis. Sekitar 70 judul buku telah beliau terbitkan dan dipersembahkan untuk Indonesia. Seluruh buku tersebut tersimpan rapi dalam lemari buku di ruangan ini. Bahkan salah satu buku Pak Nas yang berjudul “Pokok-pokok Gerilya” menjadi buku panduan wajib militer di beberapa negara di dunia.

Pak Nas di ruang kerjanya. Tempat beliau melahirkan berbagai ide dan gagasannya di bidang militer

Lemari tempat menyimpan buku-buku yang ditulis oleh Pak Nas
Ruangan ketiga yaitu Ruang Kuning. Mengapa disebut Ruang Kuning? Karena seluruh interior di ruangan ini memang didominasi oleh warna kuning. Masih asli. Ruangan ini ruangan khusus. Hanya digunakan untuk menerima tamu VVIP, baik dalam mau pun luar negeri. Tercatat Pak Nas pernah menerima kedatangan Raja Faizal dari Arab Saudi, Pangeran Bernard dari Belanda, Yurigagarin dari Rusia, Ir. Soekarno, BJ Habibie, dan Gus Dur. Di Ruang Kuning ini pula lah jenazah Ade Irma Suryani disemayamkan pada 1965, dan jenazah Ibu Johana Sunarti Nasution (istri Pak Nas) pada 2010.

Ruang Kuning
Ruang keempat yaitu Ruang Senjata. Dulunya ruangan ini merupakan kamar tidur putri pertama Pak Nas dan Ibu Johana, yaitu Hendrianti Sahara Nasution. Namun saat ini, digunakan sebagai tempat penyimpanan koleksi senjata milik Pak Nas. Tak hanya senjata api, tetapi juga senjata yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia seperti keris dan mandau.
Berikutnya yaitu Ruang Tidur. Ruangan ini merupakan saksi bisu dari kejamnya tragedi G30S/PKI. Pak Nas, yang saat itu menjabat sebagai Menko Hankam/Kasab, merupakan salah satu target utama operasi G30S/PKI. Pasukan Cakrabirawa berusaha masuk ke rumah Pak Nas. Mereka diperintahkan untuk membawa Pak Nas, hidup atau mati. Di ruangan ini, seluruh properti yang ada masih merupakan properti asli. Bahkan di pintu, tembok, dan meja masih terlihat lubang bekas berondongan peluru.
Di malam itu, kebetulan Ibu dan Adik Pak Nas sedang berkunjung. Mereka tidur di kamar Ade Irma Suryani Nasution. Sementara Ade Irma tidur bersama Pak Nas dan Ibu Johana. Saat Pasukan Cakrabirawa masuk, Ibu Johana segera mengunci pintu kamar dan menyerahkan Ade Irma kepada Adik Pak Nas. Namun karena panik, Adik Pak Nas membuka kembali kunci pintu kamar yang membuat Pasukan Cakrabirawa melepaskan tembakan yang mengenai tangan Adik Pak Nas, lalu tembus ke punggung Ade Irma Suryani.
Sementara itu, sang kakak, Hendrianti Sahara, bergegas mencoba menyelamatkan diri setelah mendengar suara senapan. Ia melompat keluar dari jendela kamarnya yang tingginya 2 meter. Akibatnya, tulang kakinya patah. Hendrianti kemudian bersembunyi di kamar ajudan hingga pagi.
Ibu Johana kemudian mengambil Ade Irma dan mendekapnya dalam gendongan. Sambil menggendong Ade Irma yang bersimbah darah, Ibu Johana meminta Pak Nas untuk menyelamatkan diri melalui ruang tidur keluarga (saat ini menjadi Ruang Seragam Angkatan Darat/Gamad, berisikan berbagai seragam militer Pak Nas dengan beragam lencana yang beliau terima) kemudian keluar lewat belakang. Pak Nas melompat tembok ke bangunan sebelahnya yaitu Kedutaan Irak dan bersembunyi di sana hingga pagi.

Tembok yang dilompati oleh Pak Nas untuk menyelamatkan diri
Ibu Johana kemudian menghadapi pasukan tersebut seorang diri di ruang makan, masih bersama Ade Irma dalam dekapannya. Tidak berapa lama, Pasukan Cakrabirawa ditarik mundur oleh pimpinannya. Saat itu diteriakan bahwa Jenderal Nasution sudah ditangkap. Nyatanya, mereka salah. Yang mereka culik adalah ajudan sang jenderal, Lettu Czi Pierre Tendean yang saat itu berusaha melindung Pak Nas. Ia kemudian dibawa ke Lubang Buaya dan gugur di sana.

Diorama saat Ibu Johana menghadapi Pasukan Cakrabirawa seorang diri di ruang makan, dengan masih menggendong Ade Irma
Beranjak ke ruang berikutnya, yaitu kamar tidur Ade Irma Suryani Nasution. Ruangan ini tepat bersebelahan dengan ruang tidur Pak Nas dan Ibu Johana dan berseberangan dengan kamar tidur kakaknya, Hendrianti Sahara Nasution. Di ruang ini masih tersimpan berbagai barang pribadi Ade Irma seperti baju saat tertembak, sepasang sepatu, tas kulit kecil, botol minum, hingga boneka.

Ade Irma Suryani Nasution

Barang-barang pribadi Ade Irma yang masih tersimpan rapi dalam kamarnya
Ruangan lainnya yang bisa kita masuki adalah dapur, perpustakaan, dan ruang diorama. Ruang diorama ini berupa paviliun yang berada persis di sebelah rumah utama Pak Nas. Paviliun ini dulunya digunakan sebagai tempat tinggal para penjaga rumah dan ajudan Pak Nas, Pierre Tendean. Di paviliun ini jugalah Pierre Tendean diculik oleh Pasukan Cakrabirawa saat sedang bertugas melindungi Pak Nas. Selain diorama penculikan Pierre Tendean, di ruang ini juga ditampilkan tiga peristiwa sejarah yang saat itu dipimpin oleh Pak Nas yaitu Bandung Lautan Api, Perjanjian Renville, Pembentukan Markas Besar Komando Djawa, dan Sidang MPRS. Saat menjadi Ketua MPRS, Pak Nas melantik Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI pada tanggal 12 Maret 1967.

Diorama yang menggambarkan proses penculikan Pierre Tendean

Dapur keluarga Pak Nas, masih asli
Pak Nas, sosok tokoh militer sekaligus negarawan yang telah memberikan banyak jasa dan pengabdian kepada Indonesia. Sepanjang hidupnya, berbagai jabatan militer telah beliau emban. Atas jasa-jasanya, berbagai tanda kehormatan/penghargaan dari negara telah banyak beliau terima hingga akhirnya beliau dianugerahi gelar kehormatan sebagai Jenderal Besar terhitung mulai tanggal 1 Oktober 1967 dan gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 2002. Hingga saat ini, Indonesia hanya memiliki tiga orang yang meraih Jenderal Bintang 5 dalam kepangkatan di Angkatan Darat yaitu Presiden ke-2 RI H.M. Soeharto, Panglima Besar Jenderal TNI Soedirman, dan Bapak A.H. Nasution.
Pak Nas wafat di Jakarta pada tanggal 6 September 2000 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Beliau pergi meninggalkan kisah heroik yang patut diteladani oleh para pemuda di masa sekarang. Tentu kita tidak boleh melupakan sejarah perjuangan para pahlawan kita. Seperti kata Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.
Sumber Cerita:
Pemandu Museum a.n Bapak Royen
Booklet museum
Beberapa sumber